Kanisiusdeki.com – Ruteng, kota di lereng pegunungan Mandosawu sangatlah memikat hati. Dari udara terlihat panorama yang sangat indah. Gunung gemunung yang mengitari sisi Selatan kota berdiri kokoh nan agung. Persawahan di sisi Utara dan bukit doa, Golo Curu, menampakkan keindahan. Persis bersemuka dengan Lapangan Udara Frans Sales Lega di kawasan Satar Tacik. Demikian sisi Timur dan Baratnya memukau hati. Di Timur persawahan membentang dari Langgo hingga Timung. Di Baratnya persawahan Redong, Ka, Mena, Woang dan La’o ikut memberi landmark Ruteng sebagai kota diantara pegunungan dan persawahan.
Di malam hari keindahan ini menjadi purna saat cahaya lampu berpendar. Awan gemawan memayungi kota memperkuat kesan eksotisnya. Tata perkotaan yang terencana dengan baik semenjak Belanda datang menolong[1] wilayah ini menjadi sebuah area perkotaan metropolis. Pusat kota terdiri dari tiga komponen kekuasaan: pemerintahan, ekonomi dan agama. Kantor Bupati berada di tengah berhadapan dengan pusat perbelanjaan dan pasar lalu selajur dengannya berdiri Gereja Katedral Lama dan Masjid. Jalur jalan sudah dipikirkan semenjak Controleur Belanda, Willem Colhaas bekerja di tempat ini. Klinik kesehatan dibangun oleh dr. Max Ave Lallemant.[2] Perlahan-lahan, kota yang dibangun 1 Agustus 1909[3] ini mendandani dirinya menjadi sebuah tempat yang menciptakan rindu.
Keindahan kota ini menyihir banyak tamu untuk selalu datang kembali (repeat visiting). Di tengah derasnya arus pariwisata menjadi sebuah pilihan pembangunan dan pemberdayaan ekonomi, keindahan panorama Ruteng menjadi sebuah optio (pilihan) utama dan tentu bukan alternative apalagi subordinasi.