Kanisiusdeki.com – Minggu pagi yang cerah. Pada jalan yang berkelok-kelok cahaya matahari berkilau emas pada dedaunan. Sepanjang jalan dari Ruteng di kiri jalan terpampang panorama persawahan Karot, Kenda hingga Poco. Jalanan terlihat sepi. Sesekali mobil kami berpapasan dengan beberapa kendaraan yang salah jalur. Hampir saja mencium bagian depan mobil. Rupanya karena mengira, pagi-pagi arus lalulintas belumlah ramai. Begitu melintasi Pagal, terlihat aktivitas penduduk yang bergegas di jalanan. Sepertinya mereka pulang dari ibadat gereja.
Sejujurnya saya belum tahu kampung Gumbang yang mejadi tempat tujuan kami. “Kampung itu melewati Lous, di daerah menurun, sebelum masuk Wae Pesi”, begitu deskripsi Rm. Marsel Hasan Pr yang menjadi penghubung kami. Karena takut terlampau jauh kami melewati tempat dimaksud, tiga kali kami bertanya pada orang-orang yang berjualan di pinggir jalan. “Belum pak, masih jauh. Nanti ada kampung di jalan menurun. Ada belokan-belokan”, demikian penjelasan seorang ibu yang kami tanyai secara sengaja. Aih, gambaran-gambaran yang biasa namun sering susah mengidentifikasi.
Baca Juga : Honeste Vivere-Selamat Jalan Viktor Daus!
Baca Juga : Keng, Doa Penyerahan Orang Manggarai
Sampai di Lous, kami mengira inilah Gumbang. Namun ternyata masih beberapa kilometer lagi. Tiba di Gumbang, kami sudah dinanti-nantikan peserta pertemuan. Hari ini kami melakukan sosialisasi Koperasi Kredit (Kopdit)[1] KSP Kopkardios kepada penduduk kampung Gumbang. “Kebanyakan ibu-ibu. Mereka adalah kelompok penenun”, begitu penyampaian Romo Marsel, penanggungjawab Bidang Pastoral Sosial Ekonomi Kebikepan Reo kepada kami. Kampung tenun! Begitulah julukan (naming) untuk kampung Gumbang ini. Persislah demikian, saat kami turun dari mobil, di depan rumah Ibu Christine, rumah tempat kegiatan, di bawah pohon Kersen terlihat seperangkat alat tenun dengan barisan benang yang membentuk kain setengah jadi.