(50 Tahun SMAK St. Thomas Aquinas Ruteng)
Kanisius Teobaldus Deki
Sr. Diana Wisang SSpS
Jika orang bertandang ke Yayasan SUKMA, ada tokoh yang tak mungkin luput dari perhatian. Orang itu, sedemikian menyatunya dengan SUKMA, seolah tak bisa dilepas-pisahkan dengan lembaga itu. Dialah Walter Wasibin Wisang, seorang sekretaris yang beriman, tekun, ulet, rela berkorban dan pantang menyerah. Itu adalah julukan yang pantas untuk Bapa Walter Wisang. Julukan itu menjadi kesan yang sangat kuat bagi tokoh ini. Kemampuannya sangat diandalkan untuk menyusun dan mendokumentasikan arsip penting persekolahan Yayasan SUKMA dan kemudian Yayasan Nucalale. Kedisiplinan, kerapihan, kecermatan menjadi trade-mark Bapa Walter.
Baca Juga : Guru Wens Wisang: Pencinta Seni, Sahabat Cosmas Batubara
Sejak Belanda mendatangi Manggarai tahun 1908, masyarakat Manggarai sangatlah terkebelakang. Jika masyarakat lain di Indonesia sudah mengenal aksara, misalnya di Jawa dan Bali, hingga saat Belanda datang belum ada sekolah di Manggarai. Tahun 1912, ada lawatan para misionaris Yesuit di Manggarai (Reo dan Labuan Bajo) dan setelahnya misionaris SVD tahun 1913. Misionaris ini selain membaptis, mereka mendirikan sekolah-sekolah. Sekolah pertama didirikan di Ruteng tahun 1913.
Dukungan yang kuat dari pemerintah Belanda melalui Flores-Soemba Regeling (Peraturan Flores Sumba) tahun 1913. Dalam peraturan itu dinyatakan bahwa tanggung jawab mengelola sekolah diberikan kepada Misi Katolik dan Misi Protestan (Zending) dengan biaya pemerintah Belanda. Hal ini memang beralasan, sejak akhir abad ke-19, digaungkan oleh Pemerintah Belanda sebuah “Politik Etis” yakni memajukan masyarakat jajahan Belanda dalam bidang pendidikan, irigasi dan emigrasi.[1]
Baca Juga : Menguak Teka-Teki Tanah Sengketa Labuan Bajo-Sisi Tilik Dokumen Tanah
Misionaris SVD memiliki komitmen untuk membangun sekolah sejak tahun 1910.[2] Sejak tahun 1922, Residen Couvreur Kupang menandaskan tujuan sekolah dasar adalah untuk memberantas buta huruf, menghilangkan tahyul dan kepercayaan sia-sia serta menghaluskan emosi buta dari rakyat. Kebijakan atas berdirinya sekolah-sekolah dilakukan di setiap wilayah.[3] Mgr. Verstraelen mengurus sekolah di seluruh Flores. Kemudian dilanjutkan oleh Mgr. Hendrikus Leven. Mgr. Thijssen kemudian mendirikan Yayasan Pendidikan. Pada 25 Januari 1955 dibentuklah Yayasan Vedapura (dalam bahasa Jawa kuno berarti: benteng ilmu) untuk mengurus sekolah untuk Keuskupan Agung Ende, Larantuka dan Ruteng.[4] Yayasan Vedapura ini kemudian dibubarkan 5 Desember 1970. Manggarai membentuk yayasan sendiri yang dinamakan Yayasan Persekolahan Umat Katolik Manggarai (Sukma).[5] Di Yayasan Sukma inilah Bapa Walter Wisang mengabdi sejak 1970.
Walter Wisang dilahirkan sebagai anak sulung dari Guru Wilhelmus Wisang dan Isabela Pareira pada 29 Desember 1935 di Sesur, Rajong. Ia menjalankan pendidikan formalnya sebagai murid sekolah rakyat di Sesur. Lalu karena orangtua berpindah tugas ke Mano, maka dia menyelesaikan pendidikan dasar di tempat itu. Walter muda lalu melanjutkan pendidikan di Seminari St Yohanes Berchmans Mataloko sampai kelas IV sekitar tahun 1953. Setelah keluar dari Seminari Mataloko, pada usia 21 tahun, Walter mulai bekerja pada Misi (SVD) sebagai seorang pegawai. Dengan tekun ia belajar untuk menjadi seorang pegawai yang ulet. Dia belajar untuk membuat konsep konsep surat dan mengetik surat surat. Kemampuannya dalam mengetik 10 jari menjadi keahlian yang diandalkan sebagai seorang sekretaris pada zaman itu. Hal yang sama menjadi cirinya: tekun dan ulet, penuh tanggungjawab.