Riwayat Hidup[1]
Sokrates berasal dari Athena. Ia adalah putera dari pasangan Sophoroniskus dan Phainarete dari rumpun Antiochid. Konon ayahnya adalah seorang pemahat[2] dan ibunya Phainarete seorang bidan. Sokrates lahir sekitar tahun 470 atau 469 SM. Hal ini bisa diketahui karena ia dijatuhi hukuman mati pada tahun 399 SM. Saat ia dijatuhi hukuman mati usianya 70 tahun.
Ketika Sokrates masih kecil ia belajar seni pahat pada ayahnya. Tidak lama kemudian ia berubah haluan karena ia ingin belajar astronomi, geometri dan filsafat yang pada saat itu diberikan oleh Criton, seorang Athena yang kaya. Dikatakan bahwa Sokrates dipanggil oleh yang Ilahi untuk menyempurnakan kondisi intelektual masyarakat Athena pada masa itu. Karena tujuan itu, ia kemudian lebih memilih menjadi seorang guru daripada mengambil profesi yang lainnya.
Ada kesaksian yang menyatakan bahwa Sokrates adalah murid Arkhelos, filsuf yang menggantikan Anaxagoras di Athena. Ia membaca buku Anaxagoras karena tertarik dengan ajarannya tentang nous. Namun kemudian ia sangat kecewa dengan isi ajaran itu. Pada usia muda ia mengubah orientasinya, yakni berbalik dari filsafat alam dan mencari jalannya sendiri.
Sebelum menjadi guru, ia masuk anggota ketentaraan Athena sebagai hoplites[3]. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa mula-mula Sokrates tidak memiliki kekurangan dalam hal materi, sebab hanya pemilik tanah yang diizinkan masuk menjadi anggota pasukan itu. Lama kelamaaan ia menjadi miskin sebab ia hanya mengutamakan keaktifannya sebagai filsuf. Pada usia yang sudah dewasa, ia menikah dengan Xantippe.[4] Perkawinan dengan Xantippe terjadi dalam sepuluh tahun pertama perang Peloponnesus. Dari perkawinan itu mereka dikarunia tiga anak lelaki dan dua di antaranya masih kecil ketika ia mati.
Dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang filsuf, ia mengajarkan kepada kaum muda hal-hal yang berguna bagi kehidupan mereka. Karena beberapa tuduhan palsu, terutama karena dia dianggap meracuni hidup kaum muda, maka kemudian ia dihukum mati dengan jalan minum racun.
Kepribadian dan Cara Hidup Sokrates[5]
Beberapa teks mengatakan bahwa raut muka Sokrates tidak tampan. Dalam dialog Plato yang berjudul Symposium[6] seorang muda bernama Alkibiades membandingkan Sokrates dengan Silenus, tokoh mitologi Yunani yang setengah berupa binatang dan setengah berupa manusia. Sokrates juga mirip Marsyas atau Satyr yaitu makhluk yang kehadirannya menyeramkan dan misterius.[7] Dalam sebuah karya komedi, Aristophanes pun menyindir raut muka Sokrates.[8] Meskipun ia kurang ganteng, ia memiliki tenaga yang kuat dan ia dapat bertahan dalam keadaan yang sulit. Menurut penilaian para sahabat dan murid-muridnya, hidup Sokrates sangat sederhana, juga dalam penampilannya. Pada musim panas dan dingin, ia mengenakan chitone (jubah) warna abu-abu yang agak tebal, yang sama dan selalu berjalan dengan kaki telanjang. Kemewahan sama sekali tidak dikenalnya. Padahal, sebagai tentara yang beberapa kali pernah ikut berperang ia memperoleh jaminan yang cukup. Orang tuanya juga bukan orang miskin.[9] Ia tahu mengendalikan diri, sehingga ia luput dari kelekatan terhadap kebutuhan insani. Seorang sofis, Antiphon, berkomentar tentang cara hidup Sokrates, bahwa seorang budak yang dipaksa untuk hidup demikian, pasti akan melarikan diri. Walaupun Sokrates hidup dengan cara ugahari, namun ia betul-betul dapat ikut serta dalam pesta (Symposium).[10]
Sikap religius Sokrates sering kali menjadi obyek diskusi dan tidak dapat ditentukan dengan pasti. Seperti layaknya orang Yunani yang berpendidikan, Sokrates pun menganggap mitologi tidak benar dan memandangnya sebagai penemuan yang diciptakan para penyair. Sokrates sendiri tentu adalah seorang yang beragama. Ia percaya pada dewa yang maha bijaksana dan mahabaik, yang menguasai dan menyelenggarakan seluruh dunia. Ia menganggap keaktifannya dalam bidang filsafat sebagai tugas yang dipercayakan dewa kepadanya. Tetapi ia berpendapat bahwa kita harus beribadat kepada dewa-dewi menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh polis bersangkutan. Jadi dengan sendirinya ia tidak menolak politheisme yang diterima umum dalam polis Yunani, biarpun kerap kali ia berbicara tentang dewa dengan cara yang menyerupai monotheisme. Bagi Sokrates dan orang Yunani pada umumnya, perbedaan politheisme dan monotheisme tidak merupakan hal yang dipersoalkan. Juga tidak ada bukti apapun bahwa Sokrates membentuk suatu golongan religius yang baru.
Menurut kesaksian Plato, Sokrates berkeyakinan bahwa dewa-dewi menyatakan diri kepada orang-orang yang saleh dengan mimpi, orakel, pertanda dan lain sebagainya. Sokrates sejak masa kanak-kanak sudah mengalami suatu “pertanda ilahi” (daimonion:ilahi, semeion: tanda) yang melarang dia melakukan hal-hal tertentu. Pertanda ini tidak pernah memberikan petunjuk positif tetapi selalu bersifat negatif saja, yakni suatu hal tidak boleh dilakukan. Dari uraian Plato dapat disimpulkan bahwa “pertanda ilahi” itu tidak sama dengan apa yang disebut hati nurani. Tetapi penjelasan lebih lanjut tidak ditampilkan oleh Plato.[11]
Sokrates tidak mengasingkan diri dari sesama warganya. Sepanjang hari ia berada di jalan-jalan, di pasar dan terutama dalam gymnasia (tempat olahraga). Ia bercakap-cakap dengan semua golongan, termasuk kaum sofis. Ia selalu dikelilingi oleh kaum muda bangsawan yang menyaksikan percakapan itu. Dalam percakapan serupa itu Sokrates menggunakan metodenya sendiri dengan jalan mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Mereka semua menyangka bahwa mereka tahu apakah yang baik dan yang jahat, serta tema-tema lainnya. Sokrates melalui metodenya kemudian menjelaskan bahwa sebenarnya mereka tidak tahu. Dengan demikian ia bertindak sesuai dengan orakel Delphoi. Dalam Apologia[12] ia menceritakan bahwa pada suatu hari seorang sahabat bertanya kepada dewa di Delphoi, apakah ada orang yang lebih bijaksana daripada Sokrates. Dalam orakelnya dewa mengatakan bahwa tidak ada orang yang lebih bijaksana. Sokrates kemudian terkejut. Karena itu ia mulai menyelami apa sebenarnya makna dari ucapan dewa. Ia bercakap-cakap dengan para negarawan dengan maksud menunjukkan bahwa mereka lebih bijaksana dari dirinya. Namun ia menemukan bahwa mereka dianggap bijaksana di mata orang lain dan mereka sendiri juga berkeyakinan bahwa mereka bijaksana. Penemuan Sokrates memperlihatkan bahwa mereka sebenarnya tidak bijaksana. Lalu ia pergi kepada para penyair dan akhirnya ia mengunjungi para tukang. Hasilnya tetap sama. Sokrates menarik kesimpulan bahwa dia lebih bijaksana disebabkan karena dia menyadari bahwa ia tidak bijaksana. Sebaliknya orang Athena lainnya menganggap diri mereka lebih bijaksana, walaupun dalam kenyataannya mereka sebenarnya tidak bijaksana. Dalam banyak percakapan Sokrates mempraktekkan ketidaktahuan itu. Melalui humor-humor ia berbuat seakan-akan ia tidak mengetahui apapun dan harus bertanya kepada orang yang berkeyakinan bahwa mereka tahu. Dengan demikian tampaklah ketidaktahuan mereka. Plato menamakan ketidaktahuan Sokrates ini sebagai “ironi” (eironeia).[13]
Sehubungan dengan ironi ini Sokrates sering kali menekankan bahwa ia tidak memberikan pelajaran dan tidak mempunyai murid-murid. Ia menyindir para sofis yang meminta uang untuk pengajaran mereka. Dalam kenyataannya Sokrates melaksanakan tugas yang sama seperti kaum Sofis, yaitu menjamin pendidikan kaum muda dari golongan bangsawan. Dapat diandaikan bahwa sahabat-sahabatnya menyokong Sokrates dengan bantuan keuangan dan barang. Tentang hal ini tidak ada kesaksian, kecuali berita mengenai tawaran mereka pada waktu perkara pengadilan.
Pengadilan dan Kematian Sokrates
Pada tahun 399 Anytus, seorang tokoh yang empat tahun lebih dahulu turut dalam memulihkan demokrasi di Athena, mengemukakan tuduhan yang mengakibatkan perkara pengadilan terhadap Sokrates. Tuduhan itu berbunyi: “Sokrates bersalah, karena ia tidak percaya kepada allah-allah yang diakui polis dan mengintrodusir praktek-praktek religius yang baru; ia juga bersalah karena ia mempunyai pengaruh yang kurang baik bagi kaum muda”[14]. Dalam Apologia Sokrates membela dirinya di hadapan hakim-hakim. Meskipun laporan itu tidak bisa dipercayai secara harfiah namun para ahli kesusastraan Yunani berpendapat bahwa karangan itu layak dipercaya karena Plato tentu menggunakan data-data historis. Sokrates dinyatakan bersalah dengan mayoritas 60 suara (280 melawan 220). Lalu pendakwa menuntut hukuman mati. Menurut kebiasaan hukum Athena, terdakwa diizinkan mengusulkan hukuman lain. Jikalau Sokrates mengusulkan agar ia dibuang ke luar kota usul itu akan diterima. Tetapi Sokrates pada usia 70 tahun tidak mau meninggalkan kota asalnya.[15] Sebenarnya Sokrates bermaksud mengusulkan satu “mina” (mata uang Athena) sebagai denda, tetapi atas dukungan teman-temannya ia mempertinggi jumlahnya sampai 30 mina, lebih-lebih karena mereka ingin turut menanggung pembayarannya. Namun keputusan sidang tetap tidak bisa diubah. Alasan para hakim ialah karena uang 30 mina terlalu kecil dan terutama karena Sokrates dalam pembelaannya dianggap menghina para hakimnya. Pelaksanaan hukuman mati biasanya dijalankan dalam waktu 24 jam. Tetapi pada saat Sokrates hendak menjalankan hukuman mati, suatu perahu layar Athena yang keramat sedang berada dalam pelayaran tahunan ke kuil di pulau Delos. Menurut hukum Athena, pelaksanaan hukuman mati baru boleh dijalankan sesudah perahu itu kembali. Karena itu, Sokrates meringkuk dalam penjara selama satu bulan, sambil bercakap-cakap dengan sahabat-sahabatnya. Salah satu sahabatnya bernama Kriton mengusulkan agar ia melarikan diri ke luar dari Athena. Tetapi ternyata Sokrates menolak.[16] Dalam dialog yang berjudul Phaidon, Plato menceritakan percakapan Sokrates dengan murid-muridnya pada hari-hari terakhir hidupnya di penjara. Dalam karya itu dilukiskan pula bagaimana Sokrates di waktu senja dengan tenang meminum cawan berisi racun di kelilingi kawan-kawannya.[17]