Apakah yang terjadi jika ada amnesia kronis melanda manusia? Semua kebaikan akan terhapus tanpa cerita. Bahkan kenangan akan kehilangan dayanya di hadapan kekuasaan peristiwa hidup yang terus berlanjut. Atau, yang lebih lebih celaka, orang tidak bisa belajar dari sejarah. Kesadaran akan kebaikan masa lalu menyebabkan muncul kerinduan untuk menulis sejarah. Sebuah upaya mencatat kembali apa yang terjadi di waktu lampau.
Baca juga : Kemenangan Untuk Rakyat Manggarai (Catatan Pilkada ke-11)
Jika menilik usul asal kata, dalam bahasa Inggris, sejarah disebut “history” yang secara etimologis berasal dari kata bahasa Yunani “historia” yang berarti ikuiri (inquiry), wawancara (interview), interogasi saksi mata dan laporan mengenai hasil tindakan; entah saksi (witness) maupun hakim (judge), seorang yang tahu tentang peristiwa. Sejarawan ternama, Tacitus (69-96) menggunakan sebutan yang sama untuk judul bukunya yang sohor, Historiae untuk peristiwa-peristiwa yang diamatinya dan Annales untuk laporan periode sebelumnya. Istilah annal (Latin: Annalecta) dan kemudian chronicles menjadi sebutan yang kerap. Konon, Gereja zaman lampau memiliki tradisi mencatat (annals dan chronicles) yang sangat bagus sehingga membentuk sebuah historiae yang komplit dan terpercaya.
Baca juga : Jangan Ada Intimidasi di Antara Kita
Berbeda dengan tradisi Barat yang mengandalkan tulisan dan keberaksaraan sebagai pengingat, tradisi Timur malah menciptakan model reminder yang lain, yakni ritual-ritual. Salah satunya yang layak untuk dibahas adalah ritual akhir tahun orang Manggarai.
Menjelajahi wilayah Manggarai Raya hari ini, di 31 Desember setiap tahun, ada nuansa eksotis dalam serpihan ritual teing hang empo (harafiah: memberi makan leluhur) yakni sebuah upacara khusus yang dilakukan untuk mengucap syukur kepada Sang Pencipta dan leluhur, memohon ampun atas segala kesalahan sekaligus memohon pertolongan agar kehidupan yang akan datang lebih baik.
Baca juga : Incumbent Itu Akhirnya Kalah
Di awal abad ke-20, pekabar Injil yang memasuki wilayah ini melihat ritual ini sebagai bagian dari penyembahan berhala. Bahkan keragu-raguan itu juga masih muncul pada para gembala umat di abad ke-21 ini, lebih-lebih saat mereka menanggapi bagian toto urat (memperlihatkan pratanda yang ditunjukkan hati dan usus hewan korban) sebagai bentuk takhyul.
Menyaksikan kekhusukan acara dan sikap bathin pelaku yang meyakini upacara teing hang empo sebagai bagian esensial dari ritual tahunan jelang tutup tahun melahirkan pertanyaan: mengapa orang Manggarai masih terikat pada tradisi semacam itu?
Baca juga : Cendekia dalam Perhelatan Politik: Menjadi Nabi atau Pengecut?
Penghormatan terhadap leluhur menjadi sangat terkenal dalam wacana para ahli agama setelah filsuf dan sosiolog Inggris menulis buku Principles of Sociology (London, Vol I 1876). Terdapat Sembilan belas bab dari buku ini membahas tentang hidup manusia, kematian, kebangkitan, jiwa, roh, kehidupan sesudah kematian dan kultus penyembahan dan penghormatan kepada roh. Bab 20 berjudul The Veneration of Ancestor in General (penghormatan kepada leluhur secara umum) membahas secara serius tentang mengapa perlu menghormati para leluhur. Dalam bagian ini Spencer mengatakan bahwa terbanyak masyarakat yang memiliki ritual semacam ini percaya bahwa leluhur adalah pengantara.
Baca juga : Membaca Pidato Politik Pak Christian Rotok