4.4.3 Pengecoran Tiang Tumpu
Beberapa waktu setelah mal papan cor untuk tiang selesai dirancang para tukang, pekerjaan berikutnya adalah secara massal mengecor fundasi, tiang-tiang rumah adat dan coran balok. Pengecoran inipun merupakan pekerjaan massal. Semua warga kampung terlibat secara beramai-ramai.
4.4.4 Penyiapan Kayu
Pasca pembangunan fundasi, tiang dan rangka beton, pertanyaan lanjutan ialah “Bagaimana langkah selanjutnya?” Pertanyaan ini memicu semangat baru untuk memberikan jawaban dan alternative pemecahan masalah. Langkah pertama adalah menginventaris ase-kae (warga kampung) yang memiliki pohon kayu. Inventarisasi ini bertujuan agar kayu-kayu tidak dibeli melainkan melalu tradisi kepok (meminta secara resmi versi adat Manggarai) kayu itu bisa diperoleh. Setelah diinventaris, ternyata ada kendala bahwa kayu jenis ampupu mudah rusak dan mudah bengkok jika terkena cuaca panas.
Lengkah kedua adalah mendekati pemerintah daerah untuk meminta ijin pemanfaatan kayu di pinggiran hutan. Setelah ijinan diperoleh, langkah ketiga adalah upacara adat “racang cola” yakni pengudusan alat-alat yang digunakan untuk memotong kayu di hutan seperti kapak, mesin gergaji dan parang. Selanjutnya adalah penggergajian. Dalam kegiatan ini, penggergajian dilakukan oleh tiga tim dan dibayar per meter gergajian adalah Rp. 5.000. Hasilnya diperoleh 500 batang balok, 500 lembar papan tebal dan 500 lembar papan tipis.
Untuk mengangkut 1.500 lembar balok dan papan ini membutuhkan tenaga yang banyak dengan kontur tanah yang tidak rata. Selama tiga minggu, semua warga datang ke tempat penyimpanan kayu, mengangkutnya ke tempat penampungan kayu di kampung. Peristiwa yang tak kalah penting dalam pengangkutan kayu ini adalah dibawanya tiga penggalan tiang utama dengan panjang satu tiang 7,5m dan ketebatan 40cm. kayu ini sangat berat. Namun karena semangat juang yang tinggi kayu-kayu tiang utama (siri bongkok) dapat sampai ke pinggiran kampung.