Terus Bersuara
P. John menjalani hidupnya dengan cinta yang penuh kepada masyarakat Nusa Tenggara dan Indonesia. Karyanya yang bermula di Thomas Morus Maumere, lalu Wolofeo wilayah pedalaman Lio, kemudian masyarakat migran lokal di Pati Somba serta para tahanan di Rutan Maumere, menyiratkan satu simpulan yang dapat ditarik benang merahnya: ia tak jauh dari kata-kata pewartaannya sendiri. Sabda yang disampaikannya didekatkan dengan tindakan amal bakti bagi mereka yang berada di pinggiran.
Masyarakat pinggiran menjadi focus pentingnya dalam ruang-ruang akademik dan pergumulan intelektual melalui wacana, diskusi dan artikel serta buku-bukunya. Ia terus bersuara bagi mereka yang tak terdengar dan didengarkan. Dalam bahasa Chairul Anwar, mereka adalah “kumpulan terbuang”. Selama kurang lebih 50 tahun pengabdianya di Indonesia, ia menyuarakan orang-orang kecil dan membuat mereka bersuara dan berdaya.
Ketika P. John melihat ada banyak imam dan kaum religious terlibat dalam pelecehan seksual, termasuk rekan sejawatnya, hatinya menjadi pilu. Ia menyampaikan sikap protesnya dalam pernyataan langsung pun media massa melalui artikel yang ditulis dengan sangat keras, salah satunya Mingguan Katolik HIDUP.[15] Ia bahkan mendesak Vatikan untuk mengusut tuntas pelanggaran moral para imam dan hasil penyelidikan haruslah disampaikan secara terbuka kepada public.
Dalam pandangan P. John, perempuan dan anak-anak dalam kasus pelecehan seksual adalah korban yang lemah, dalam banyak aspek. Ia mengkritisi tanpa tedeng aling-aling dan menyampaikan kenyataan tercela kepada mahasiswanya. Ia ingin menegaskan, kebenaran tetaplah kebenaran, betapun disembunyikan suatu saat akan tetap terungkap. Ada dimensi etis di sini yakni tanggung jawab. Ketika imam tidak bertanggungjawab atas kesalahannya dan atasannya melakukan pembiaran, akan semakin menambah deret panjang yang akan menjadi korban.
Institusi seperti keuskupan, kongregasi pun perguruan tinggi Katolik, hendaknya tidak melindungi para imam pun kaum religious yang secara nyata telah melakukan pelanggaran HAM berat. Argumentasi non substansial lagi artifisial semisal karena mereka professor, lembaga masih membutuhkannya, luruh demi kapabilitas dan integritas Gereja Katolik yang mengusung kebenaran dan kebaikan sebagai nilai paling hakiki dari keselamatan.