Pengabdian yang Total
Pada suatu waktu P. Servulus dikejutkan dengan munculnya sebuah surat dari Kampus. Isinya singkat, dirinya tidak lagi menjadi pengajar di sekolah yang sudah diselamatkannya. Surat itu dihantar oleh seorang staf dari yayasan. Ketika membaca surat itu hatinya gundah. Bukan isi surat yang membuat dirinya masgul, melainkan cara mereka memperlakukan dirinya.
Baca juga : Menguak Teka-Teki Tanah Sengketa Labuan Bajo-Sisi Tilik Dokumen Tanah (3)
Baca juga : Menguak Teka-Teki Tanah Sengketa Labuan Bajo-Sisi Tilik Dokumen Tanah Edisi #4
“Etikalah yang membuat kita disebut manusia”, katanya. Dirinya sungguh sadar apa yang telah dilakukannya atas lembaga itu merupakan pelayanan yang diterima dari Tuhan. Namun respek terhadap semua pihak yang telah membuat sekolah itu berjalan kembali dalam kesuksesan adalah bagian dari etika. “Ketika orang tidak lagi memiliki etika, apa bedanya dengan orang yang tidak berpendidikan?”, komentarnya suatu kali saat saya mengunjungi beliau di komunitasnya.
Bisa jadi P. Servulus tidak butuh dihargai dengan sebuah acara perpisahan yang mewah. Ia hanya ingin menegaskan, etika adalah buah dari sebuah pendidikan, yang seharusnya dilakonkan oleh pihak-pihak yang ada di lembaga itu.
P. Servulus tidak banyak menulis buku, sejauh yang saya tahu, selain sebuah buku yang dieditnya.[4] Sedangkan artikelnya tersebar di banyak buku kumpulan tulisan termasuk Jurnal Missio. Banyak bahan kuliahnya dalam bentuk diktat. “Suatu saat saya akan menerbitkannya menjadi buku”, katanya suatu kali.
Rupanya itu tidak lagi bisa dilakukannya. Penyakit gula yang menggerogotinya membuat matanya bermasalah. Berkali-kali ia dirawat berkaitan dengan matanya ini. Pengalaman sebagai orang sakit lalu mendorongnya untuk merawat orang-orang sakit. Ia memiliki karunia menyembuhkan. Banyak orang lalu datang kepadanya setiap hari. Beliau menerimanya dengan hati yang tulus. Mereka didoakan lalu sembuh. “Kami sangat berterima kepada Pater Servulus. Kami pernah meminta bantuan doa beliau, kami sembuh”, ujar Yohanes Jeharut, salah seorang pasiennya. Banyak orang memiliki kesan yang sama.
Ia juga melayani perayaan ekaristi bagi siapa saja yang membutuhkannya. Ia datang bertemu keluarga-keluarga, memberikan peneguhan dan kekuatan. Ia hadir untuk menjadi sumber kegembiraan bagi sesamanya. Ia imam yang sederhana. Ketika ada trend, imam-imam muda dalam kongregasinya memiliki mobil sendiri, ia tetap bergantung pada sopir biara yang setia mengantarnya ke mana saja ia melayani.
Kesederhanaan dan kesahajaan hidup menjadi bagian dari kepribadiannya. Imam pertama yang ditahbiskan di Paroki St. Gregorius Borong tahun 1973 ini, kemudian kembali merayakan Pesta Pancawindu Imamat dalam kesederhaan di tempat itu.
Interaksi yang intens dengan banyak orang inilah yang bisa jadi P. Servulus tertular Covid-19. Bersamaan dengan itu, sakit gula yang sudah menahun, bisa jadi membuka peluang bagi dirinya untuk terinveksi. Hingga pada 16 Januari 2021 pihak SVD membawa P. Servulus ke Labuan Bajo untuk mendapat perawatan yang intensif. Dalam perawatan itulah kondisinya bertambah parah, didukung oleh usia yang kian lanjut, P. Servulus menghembuskan nafas terakhir.
P. Servulus lahir di Rekas, 23 Desember 1944. Anak Guru Utung ini, adik kandung dari P. Yan Mendjang SVD, mantan rector UNIKA Widya Mandira Kupang, kakak kandung dari Sr. Maria Columba SSpS, mantan Provinsial SSpS Kalimantan. Beliau mangkat pada usia 77 tahun. Selamat Jalan Om Tuan, bahagia bersama para kudus di Surga!***
[1] Kanisius Teobaldus Deki, Menjadi Abdi Menghalau Gelap Budi Menyingsing Fajar Pengetahuan (Maumere: Ledalero, 2009), hal. 546-547.
[2] Pius Pandor, Ex Latina Claritas (Jakarta: Obor, 2010), hal. 215.
[3] Kanisius Teobaldus Deki, Op.cit., hal. 179-202.
[4] Servulus Isaak (ed.), Mencari Keadilan (Ende: Nusa Indah, 1985).