Membangun Generasi Emas Kabupaten Ende

Membangun Generasi Emas
Soekarno memandang jauh ke depan. Alih generasi merupakan sebuah proses alamiah yang berkesinambungan. Di sisi inilah peran generasi muda menjadi sangat penting dan strategis. “Beri aku 10 pemuda, niscaya aku akan mengguncangkan dunia”, kata Soekarno. Pekikan ini merupakan sebuah penciptaan arus utama untuk mendidik generasi muda sebagi pelanjut perjuangan bangsa, juga perjuangan daerah. Kesadaran ini terus terpatri erat pada nubari Bapa H. Djafar untuk mengembang tugas mendidik generasi muda demi meraih Generasi Emas 2045.
Tahun 2045 Indonesia memasuki usia 1 abad, sebuah momentum bersejarah perjalanan panjang kehidupan berbangsa dan bernegara selama 100 tahun. Refleksi panjang tentang apa yang terjadi selama hampir 100 tahun ini menguatkan niat pemimpin bangsa untuk membangun wacana dan gagasan tentang Generasi Emas 2045.
Sebuah kenyataan yang sudah diprediksi bahwa pada tahun itu terjadi bonus demografi. Jumlah penduduk Indonesia dalam usia produktif (15-64 tahun) berjumlah 70%. Jika kondisi ini sungguh dimanfaatkan dengan baik maka akan meminimalisir banyak hal buruk seperti kemiskinan, kesehatan yang rendah, pengangguran dan tingkat kriminalitas yang tinggi.
“Kita lihat, ada banyak fakta yang membutuhkan perhatian serius kita, khususnya bagaimana kabupaten kita ini menyiapkan generasi masa depannya dari sekarang. Target kita, anak-anak Kabupaten Ende akan menjadi generasi yang cerdas, inovatif dan dapat menerima perubahan serta berakselerasi dengannya. Kita menyiapkan mereka menjadi pribadi yang tangguh dengan memiliki kecerdasan yang komprehensif, produktif dan inovatif. Mereka pribadi pencipta damai dalam interaksi sosialnya, punya karakter yang kuat, sehat jasmani dan rohani. Mereka memiliki kedekatan dengan alam dan berperadaban unggul”, papar Bapa H. Djafar tentang harapannya akan Generasi Emas 2045.
Untuk mencapai harapan itu, dalam perspektif Bapa H. Djafar, peran lembaga keluarga, pendidikan dan lembaga agama sangatlah penting. Lembaga-lembaga ini membangun fundasi pendidikan karakter bagi setiap pribadi anak.
Pada tempat pertama, keluarga merupakan tempat anak mendapatkan keutuhan cinta dari orangtua, saudara-saudarinya, dari keluarga besarnya. Situasi penuh kasih sayang menjadi dasar yang kuat baginya untuk percaya diri, mampu berjuang dan bertarung dalam situasi apapun di luar rumah. Dalam keluarga dibangun nilai-nilai yang penting bagi penciptaan karakter anak.
“Anak dilatih untuk mengucapkan terima kasih ketika diberi, bersyukur ketika ia menerima rahmat dari Allah, meminta maaf ketika bersalah dan mohon ampun bila telah melukai sesama dan Tuhan. Anak dilatih untuk bersabar, mengantri, menolong tanpa pamrih dan memiliki hati bagi orang lain. Ia rela berbagi dengan sesama saudaranya, kebiasaan ini, jika sudah berpola maka akan menjadi kebiasaan ketika ia berada di luar rumah. Sikapnya tetap sama di mana saja ia berada menjadi pribadi yang baik”, tandas Bapa H. Djafar.
Untuk menghasilkan Generasi Emas 2045, keluarga menjadi benteng pertama dan utama. “Mari kita bentuk keluarga yang berpegang teguh pada nilai-nilai agama dan budaya kita. Nilai-nilai ini menolong anak untuk bertumbuh menjadi pribadi yang mandiri dan unggul. Jauhi segala bentuk kekerasan. Perlakukan anak dengan penuh kasih sayang dan bawa mereka ke hadapan Allah. Saya selalu mengajak keluarga-keluarga untuk tidak alpa sembahyang, berdoa kepada Yang di Atas supaya Ia meridhoi perjalanan dan perjuangan hidup kita. Setara dengan itu, anak-anak dibawa ke acara adat. Pesta-pesta adat kita kaya akan makna. Penghormatan terhadap leluhur merupakan hal yang sangat positif. Tanpa leluhur kita tidaklah mungkin ada. Bawalah anak-anak ke acara-acara itu supaya mereka memahami tatanan nilai yang sangat kaya di dalamnya”, ujar Bapa H. Djafar.
Pada tempat kedua, Bapa H. Djafar berharap pada lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan menjadi tangga kedua penciptaan masyarakat yang berkarakter. Tugas itu menjadi pengabdian mulia para pendidik, pemerintah dan pemangku kebijakan. “Guru punya peran strategis dalam membangun masyarakat. Guru ini penggerak. Ia mentrasformasikan misi pendidikan dalam tingkat pembelajaran kehidupan anak didik. Ia menempatkan dirinya sebagai pribadi yang inovatif, kritis, the ways of thinking, selaras dengan kebutuhan para muridnya. Orientasinya tetaplah pada penciptaan karakter unggul pada peserta didik. Lembaga pendidikan memiliki tugas mengembangkan SDM yang mampu berpikir rasional, kritis, aktif, inovatif, berwawasan kebangsaan dan mindset entrepreneur”, paparnya antusias.
Untuk mencapai harapan ini, tentunya tidaklah mudah. Lembaga pendidikan menyiapkan sarana prasarana yang memadai dan pengajar yang handal. “Peran guru lalu berubah. Ia menjadi penggerak, inisiator, mitra, sahabat pengajar yang menyalurkan apa yang kita sebut sebagai learning based outcome curriculum. Tentulah tidak mudah pekerjaan guru. Namun itulah yang harus dilakukannya. Muara akhirnya adalah dihasilkan generasi yang cerdas tetapi sekaligus memiliki karakter”, ungkapnya.
Pada tempat ketiga, Bapa H. Djafar menggarisbawahi pentingnya lembaga agama. Agama dalam pandangannya merupakan rumah yang membentuk kecintaan terhadap Yang Ilahi serentak Yang Insani. Kecintaan ini bukanlah sebuah lakutapa abstrak. Ia berbuah pada tindakan nyata.
“Generasi Emas 2045 merupakan generasi yang profesional dalam bekerja, memiliki sentuhan kasih dalam pergaulan dengan sesama dan mampu bertarung dalam persaingan global. Ini merupakan gabungan dari tempaan tiga rumah ini: keluarga, pendidikan dan agama. Di rumah kita dilatih untuk mencintai pekerjaan, di sekolah kita dididik menjadi profesional, di rumah ibadah kita dididik untuk menjadi pribadi yang tangguh. Iman itu penyerahan diri yang aktif. Ia percaya pada Allah serentak menyadari bahwa ia tetap menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sesuai profesi yang dimiliki. Orang yang hanya tahu berdoa tetapi tidak bekerja adalah pribadi yang rapuh dan salah menilai peran Tuhan dalam kehidupannya”, tandasnya.
Bapa H. Djafar mengatakan bahwa adalah tugas lembaga agama untuk memperdalam iman pemeluk agama, membangun relasi yang intim dengan Tuhan. Semakin seseorang dekat dengan Tuhan perilaku hidupnya semakin baik dengan sesamanya. “Jangan terbalik. Semakin rajin beribadah, malah perilakunya semakin menyusahkan sesama. Ini keliru. Lembaga agama harus mengajarkan ajarannya untuk saling mencintai, mengasihi, tolong-menolong, toleransi, saling menghargai perbedaan dan tidak menjadikan perbedaan keyakinan alasan untuk bermusuhan”, kilahnya.
Dalam pengalamannya berada di Kabupaten Ende, Bapa H. Djafar melihat bahwa kehidupan sosial kemasyarakatan umat beragama sangatlah rukun dan damai. Situasi ini perlu dipertahankan. Kerja sama antar umat, dialog dan sikap toleransi merupakan mutiara indah dalam kehidupan bersama. “Saya selalu terkesima dengan cara kita membangun kebersamaan. Sebagai Bupati saya mendatangi Bapa Uskup untuk mendiskusi banyak hal pembangunan. Saya sadar bahwa pembangunan kabupaten ini adalah sumbangsih banyak pihak, maka kerja kolaborasilah yang saya pakai sebagai metode. Demikian dengan MUI, imam masjid dan para pendeta. Semua berjalan positif. Antar umat juga saling tolong menolong. Jika ada perayaan di Natal atau Paskah di Gereja, anak-anak Remaja Masjid menjadi petugas keamanan. Demikian pun sebaliknya. Ini situasi yang sangat khas Ende karena kita datang dari rahim yang sama, Rahim Pancasila”, papar Bapa H. Djafar optimis.
Hal yang diupayakan secara bersama adalah meminimalisir cara pandang berbau SARA. Ia selalu menyampaikan secara terbuka bahwa metode pembangunan di Kabupaten Ende adalah Tiga Batu Tungku: Pemerintah, Agama dan Adat. Karena itu, jika ada pihak yang secara sengaja menggelontorkan isu sesat berkaitan dengan SARA adalah tugas semua pihak untuk tidak terpancing.