Markus lahir pada 19 April 1945, buah kasih pasangan Aloysius Taku dan Margareta Uwet. Masa kecil dilaluinya di beberapa tempat mengikuti orangtuanya. Ia memiliki banyak pengalaman dalam berbaur dengan masyarakat. Perjalanan hidupnya berjalan dalam bingkai yang terus memberinya ruang untuk berkiprah dalam banyak bidang.
“Sejak saya menjadi pegawai negeri sipil, saya ditugaskan bekerja di Kantor Keuangan Daerah. Saya menjadi paham bahwa sebuah perencanaan pembangunan tak akan bisa diimplementasi tanpa kondisi keuangan yang baik. Kemampuan mengelola keuangan daerah menjadi sebuah panggilan hidup yang sangat dibutuhkan”, kisah Bapa Markus ketika ditanya soal karirnya sebagai birokrat.
Baca Juga : Paulus Do : Non Scholae, sed vitae discimus!
Baca Juga : Markus Paus: Fortiter in re et suaviter in modo
Kemampuan itu sangat dibutuhkan oleh Yayasan Nucalale. Meski bukan berdiri sebagai jajaran pendiri, sejak awal Bapa Markus sudah bergiat di Yayasan Nucalale dan terlibat aktif dalam aktivitas SMAK St. Thomas Aquinas. “Bersama Pak Frederikus Taku, Pak Markus sejak awal menjadi pribadi yang memungkinkan banyak aktivitas sekolah berjalan sesuai rencana. Pak Merkus seorang ahli keuangan sekaligus pihak yang melancarkan kegiatan sekolah dan yayasan”, komentar Bapa Herman Djegaut.
Perjalanan panjang sekolah ini memang merupakan buah kesetiaan dari banyak pihak, khususnya pihak yayasan dan para guru. “Kami berpindah-pindah gedung untuk pengajaran. Mula-mula di SDK Ruteng II lalu ke SMP Dharma Bakti dan baru kemudian ke gedung sendiri di SMAK St. Thomas Aqunas”, kisah Bapa Markus. Perpindahan ke setiap tempat yang mungkin bukanlah masalah bagi para pendiri, guru dan murid. Semua berjalan dalam kondisi normal dan dianggap wajar. “Sebagai sekolah baru yang dibuka karena tidak tertampungnya siswa di SMA Swadaya, situasi saat itu ada dalam rel perjuangan yang harus dimenangkan. Bahkan karena sekolahnya sore hari, kami menyiapkan penerangan dari lampu gas”, lanjutnya.
Baca Juga : Kami Optimis Untuk Ke Depan:
Baca Juga : Menjelajahi Kampung Kopi Manggarai, Flores, NTT
Usaha mereka memang tidaklah sia-sia. “Tahun 1970 ada 36 siswa yang diterima. Tahun 1971 terdapat 63 siswa yang diterima. Animo terus meningkat. Tahun 1975 angkanya berada di posisi ratusan yakni 118 orang. Makin banyak anak yang masuk sekolah ini. Untuk kelas I-III tahun 1970-1972 terdapat 153 siswa. Tahun 1973-1975 ada 259 siswa belajar di tempat ini. Sejak saat itu, angkanya terus meningkat. Tahun 1976-1978 bertambah menjadi 359 siswa. Tahun 1985-1987 jumlah siswa sebanyak 998 siswa dan berpuncak pada tahun 1988-1990 jumlah siswa yang mengenyam pendidikan di tempat ini 1.006 siswa”, jelasnya.