(Sebuah Kado Untuk Uskup Baru)
Kanisiusdeki.com – Menghadapi moment tahbisan Uskup Ruteng Mgr. Hubertus Leteng, Pr, ingatan saya berpulang pada tulisan dengan judul: ”Yang Luka Akan Kubalut”. Sebuah artikel yang menyentuh kesadaran saya dihadapan peristiwa mulia tahbisan seorang Gembala Umat. Artikel racikan seorang cendekia dari STFK Ledalero, John Mansford Prior SVD dalam Pos Kupang edisi 19 April 2008.
John Mansford Prior mengawali tulisannya dengan ”kisah kunjungan Paus Benediktus XVI” ke Washington DC dan New York. Hal pertama yang dilakukan Paus adalah bertemu dengan wakil orang tua korban pelecehan seksual oleh para imam di beberapa keuskupan di Amerika Serikat. Peristiwa itu terjadi sebelum semua acara yang telah diagendakan dalam rangkaian acara kunjungan itu. Dalam pembicaraan dari hati ke hati antara Paus dan wakil para korban, Paus meminta maaf atas kesalahan para agennya dan berupaya untuk mengubah arah hidup ke arah yang lebih baik.
Bersamaan dengan itu, pada bagian lain tulisan Prior mengungkap fakta bahwa pada 18 April 2008, Uskup Maumere yang baru Mgr. Cherubim Pareira, SVD akan dijemput di Bandar Udara Waioti. Pertanyaan yang diajukan oleh Prior ialah ”Apakah Uskup baru Maumere ini akan diarak ke istana keuskupan atau langsung menuju medan gunung Egon yang meletus, tempat para korban mengungsi?”
Di akhir tulisannya, Prior, juga seperti Paus, melihat bahwa tugas yang paling penting dari gembala umat ialah menyembuhkan yang sakit, mencari domba yang hilang, yang tersesat. Selama ini, menurut Prior, para gembala hanya memperhatikan domba yang tidak tersesat, tidak sakit, tidak hilang, tidak lapar. Terjadi suatu ”salah fokus, salah tempat”
Apa yang menarik dari tulisan Prior adalah faktum bahwa: Pertama, Para gembala kita selama ini telah menempatkan diri secara salah dalam lini pastoral yang keliru (layani orang yang tidak tersesat). Kedua, Kesalahan ini kerap tidak disadari sehingga menjadi serba otomatis dalam pelayanan pastoral (jadwal tetap, fokus tetap). Ketiga, Belum adanya kesadaran seperti Paus dan paling kurang ”kami para pastor” seperti kata Prior, untuk meminta maaf atas salah fokus dan tempat pastoral ini.
Pertanyaannya: ”Apa yang kita lakukan sebagai calon agen pastoral menantang badai zaman yang kian berubah ini? Di mana kiprah Gereja Keuskupan Ruteng dalam percaturan upaya ”menantang”? Siapkah kita menghadapinya?” Itu adalah sederetan pertanyaan yang perlu diajukan ke dalam basis keyakinan kita, serentak menilik secara kritis ”orientasi kita”. Maka, membangun teologi dan praksis pastoral yang relevan dan kontekstual adalah kiprah yang membebaskan jalan kita dari salah fokus dan locus.