Pilkada Damai, Pilkada Tanpa Intimasi
Kita sudah berada diambang Pilkada 9 Desember 2020, beberapa hari lagi pesta demokrasi itu dilangsungkan. Konstelasi politik tentu terus meningkat. Kesigapan semua pihak dalam membaca indikasi-indikasi bahaya kian tinggi. Ketegangan tak dapat dihindari. Karena salah satu tujuan Pilkada adalah perebutan kekuasaan, maka berbagai macam upaya dapat dilakukan, termasuk kemungkinan menghalalkan segala cara. Di sini ada potensi bahaya yang sangat besar. Bahaya laten dalam setiap perebutan kekuasaan adalah menginginkan kemenangan secara paksa.
Baca juga Siapa Layak Memimpin Manggarai?
Apa yang terjadi di Pong Pahar menimbulkan resistensi pada setiap elemen dalam masyarakat lain di seluruh kabupaten Manggarai. Resistensi itu menyebabkan munculnya kecurigaan-kecurigaan. Salah satu kecurigaan paling besar adalah adanya praktik money politics (membeli suara). Itulah sebabnya, masyarakat membangun pertahanan diri. Kerinduan untuk membebaskan pesta demokrasi dari praktik curang adalah hal yang substansial. Daerah ini tidak boleh dibangun dengan cara yang tidak jujur. Mengapa? Ketidakjujuran dalam proses demokrasi akan melahirkan pemerintahan yang tidak jujur dan korup. Itu adalah petaka bagi rakyat karena mereka akan dikhianati.
Baca juga Orang-orang Berjiwa Kerdil di Pilkada Manggarai 2020
Selain praktik money politics yang membahayakan demokrasi adalah intimidasi dan kekerasan. Ketika kita berselancar di media social, kekerasan verbal dan psikis ditayangkan seolah tanpa beban oleh pemilik akun palsu. Mereka tak segan-segan mengumbar kebencian dengan menghina, mencaci maki, memfitnah dan mengadu-domba secara kejam. Sebuah perilaku banal dan kerdil para pengecut yang tak layak dipertontonkan oleh orang yang disebut Ata Manggarai yang berperilaku layaknya seorang petarung (ata rona, laki tuung keta).
Setara dengan kekerasan verbal dan psikis, kekerasan fisik juga dialami oleh anggota Laskar 88. Mereka dipukuli hingga terluka oleh tim DM. Kekerasan semacam ini menjadi momok demokrasi sekaligus antithesis terhadap arti demokrasi yang paling hakiki: pemuliaan martabat manusia. Tindakan kekerasan, apapun bentuknya, mulai dari intimidasi hingga pemukulan melecehkan demokrasi dan menunjukkan ketidakpahaman ataupun sikap sengaja demi meraih kekuasaan dengan menghalalkan segala cara.
Baca juga Cendekia dalam Perhelatan Politik: Menjadi Nabi atau Pengecut?
Kebijaksanaan local Manggarai selalu mengajak kita untuk bersatu sebagai saudara (ase kaé taung tite). Pilkada ini hanyalah kisah temporal. Kehidupan kita terus berlanjut sepanjang waktu di Tanah Nuca Lale tercinta ini. Hendaklah kita: “tuka ca leleng-nai ca anggit. Neka koas neho kota-behas neho kena. Teu ca ambong neka woleng lako, muku ca puú neka woleng curup” untuk mendeklarasikan bahwa Pilkada Manggarai 9 Desember 2020 adalah Pilkada bebas intimidasi dan kekerasan.
Jika ini mampu kita lakukan, maka kita sedang membelajarkan proses politik yang bermartabat kepada anak cucu kita selaku generasi penerus dan pewaris sah tanah ini dalam segala kualitas nilainya. Inilah saatnya kita berjuang merebut kekuasaan secara elegan, mengajukan proposal program pembangunan kepada masyarakat pemilih dengan santun dan penuh kerelaan. Dengan cara itu, kita menegaskan diri sebagai pelaku pembangunan yang memiliki karakter dan dapat dipercaya (credible). Mari bepilkada damai, mari membuang semua niat untuk intimidasi, money politic dan kekerasan!