Hiduplah dengan Jujur
Ketika kami menghadiri undangan Gubernur NTT di Hotel Ayana Labuan Bajo 10 Juni 2019, ada banyak cerita lucu berkaitan dengan betapa banyak orang ingin menjadi kaya dengan cara yang tidak wajar. “Saat ini angka korupsi makin tinggi. Pada zaman dahulu korupsi dikenal pada lapisan atas. Sekarang perilaku itu menyerang semua pihak dan menjadi semacam trend yang sulit dihentikan. Celakanya, ketika ada temuan kita seperti CV. Neka Cegot (CV yang tidak boleh diganggu-gugat). Wah, koq bisa begitu? Anda korup lalu tidak mau diperiksa dan dinyatakan bersalah?”, tanyanya retoris.
Kami selalu suka mendengar repitisi “CV Neka Cegot” ini. Ungkapan ini berulang terus, semacam leit motive, dalam banyak versi. Dalam pandangan Bapa Viktor, salah satu penyebab orang menjadi korup saat ini karena adanya keinginan untuk memiliki banyak materi dan terlihat sebagai orang sukses. Seakan menyetujui konsep figurative yang berkembang di masyarakat, orang sukses itu terlihat dari tampilan materialnya, maka orang berlomba-lomba memiliki barang mewah.
Baca Juga : Drs. Yohanes Segau: Panta rhei kai uden menei!
Baca Juga : Michael Ogos, B.A: Bona Culina, Bona Disciplina!
“Rahasia bahagia adalah kehidupan yang jujur”, demikian simpulan Bapa Viktor. Semakin seseorang jujur dengan hidupnya, ia akan menikmati profesi pun kepercayaan yang diberikan kepadanya dengan baik. “Karena tidak jujur, banyak orang yang terlalu dini menjadi tua. Belum lama bekerja sudah penuh problem dan menjadi pesakitan. Nah, ini yang kita harus lakukan. Belajar untuk menerima diri apa adanya, berproses sesuai aturan dan aturan akan memelihara kita”, tambahnya.
Jika kita menelisik literatur kuno, Ulpianus dari negara Romawi pernah menulis karya berjudul Digesto. Dalam karya itu, Ulpianus menjabarkan ada tiga kewajiban yang semestinya dimiliki oleh warga negara Romawi.[2] Pertama, Suum cuique tribuere (berikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya). Kedua, Honeste Vivere (hiduplah dengan jujur). Ketiga, Alterium non laedere (janganlah menyakiti hati sesamamu). Dalam konsep Ulpianus, dasar dari ketiga hal di atas adalah ‘honeste vivere’ yang berkaitan erat dengan ‘bene viveri’ (hidup baik) dan ‘beate viver’ (hidup bahagia).
Tentu, apa yang disampaikan Ulpianus masih tetap relevan dengan kehidupan manusia sepanjang zaman. Sokrates pun Plato menyebut pilihan untuk hidup jujur sebagai keutamaan (arete, virtue).[3] Keutamaan adalah isi dari nilai-nilai yang dibangun sepanjang peradaban manusia. Bapa Viktor sungguh menyadari hal ini. Pengalamannya sebagai seorang PNS yang banyak berkarya di medan keuangan memberinya pola tetap: kejujuran adalah keutamaan. Sebagai keutamaan, hal itu harus mengalir dalam seluruh hidup dan kemudian menjadi cirinya.
Baca Juga : Awas Bulan Maria!
Baca Juga : Yoseph Tatu : Motivator yang Visioner
Bapa Viktor lahir di Logos-Dampek pada 22 Agustus 1960. Tatkala ia pensiun dari tugasnya sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), ia ingin membaktikan dirinya sebagai wakil rakyat di Kabupaten Manggarai Timur. “Kita lihat sendiri kesulitan masyarakat, dengan jujur kita bisa katakan, mereka butuh wakil yang bisa menjadi suara mereka, itu yang membuat saya terpanggil maju di jalur politik”, kisahnya suatu kali ketika kami berpapasan di suatu tempat.
Namun suratan takdir berkata lain. Kendati tak terpilih sebagai wakil rakyat, ia tetap menjadi motivator bagi para petani di Dampek pun di persawahan baru Jawang, Longko, Lodos dengan ikut turun mengerjakan sawah. Ia tetap berkantor di Kopdit Abdi Manggarai Timur, sebuah lembaga keuangan mikro terbesar di wilayah ini, hingga akhir hayatnya.
Bapa Viktor selamat jalan. Terima kasih untuk segala kebersamaan dan persahabatan kita!
[1] Kanisius Teobaldus Deki, Setia Melayani Kemanusiaan (Yogyakarta: Asdamedia, 2016), hal. 181-182.
[2] Pius Pandor, Ex Latina Claritas (Jakarta: Obor, 2010), hal. 239-240.
[3] Kanisius Teobaldus Deki, Makna dan Tujuan Hidup Manusia-Filsafat Etis Sokrates (Ruteng: LKPD, 2012), hal. 87.