Kepemimpinan yang Demokratis[2]
Kehidupan demokratis membetahkan semua pihak di lembaga ini. Bapa Yan mencontohkan, untuk menjadi pemimpin di lembaga ini, didiskusikan dalam rapat guru lalu diputuskan bersama. Yayasan Pendidikan Nucalale memberikan keluasan dan kewenangan penuh kepada sekolah. “Termasuk untuk pengelolaan Dana Bos misalnya, dilaksanakan sepenuhnya oleh pihak sekolah. Pihak yayasan hanya melakukan pengawasan. Dengan pola seperti ini, otonomi pihak sekolah sangat besar”, jelasnya.
Baca Juga : Sistem Ijon Sudah Pamit
Baca Juga : Paulus Opot: Pegawai Teladan yang Mencintai Pendidikan
Dalam hal kesejahteraan, usulan dari guru dan pegawai didengar lalu dicarikan solusi bersama. “Lembaga berusaha membayar upah sesuai UMP. Ini membantu kami tetap bekerja dengan maksimal. Yayasan berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan biaya pendidikan, bukan saja melalui uang sekolah sumbangan pendidikan (SPP) dari siswa tetapi juga melalui usaha mandiri, antara lain menyewakan lahan bagi tempat usaha”, paparnya.
Menurut Bapa Yan, pendidikan yang demokratis harus menjadi trend pendidikan yang benar. Pendidikan demokratis akan melahirkan generasi yang tidak saja cerdas tetapi lebih dari itu dapat mengabdi kehidupan dengan baik. “Problem kita selama ini adalah social skill. Banyak anak cerdas namun lemah dalam aspek kepemimpinan dan kehidupan sosial. Berbalik dengan kebutuhan dunia kerja, social skill menjadi andalan. Oleh karena itu, kita mulai menanamkan pola ini dalam kehidupan lembaga pendidikan kita ini”, tambahnya.
Baca Juga : Markus Malar Taku: Bangun Kembali Menjadi Sekolah Favorit!
Baca Juga : Paulus Do : Non Scholae, sed vitae discimus!
Pensiun di Puncak Karir
Bapa Yan lahir di Tenda, 27 Maret 1959. Ia merupakan anak kedua dari 7 bersaudara. Ia menyelesaikan pendidikan dasar di SDK Kumba 1. Pendidikan menengah pertama dilaluinya di SMEP Bagung dan dilanjutkan pada SMEA Karya Ruteng. Minatnya yang besar dalam bidang ekonomi bisnis membawa dirinya ke Universitas Nusa Cendana Kupang.
Sejak kedatangannya di SMAK St. Thomas Aquinas tahun 1984, dirinya dipercaya menjadi Kaur Kesiswaaan selama 10 tahun. Lalu pada tahun 2007 hingga 2017 menjadi Wakasek dan 2018-2019 dirinya dipercaya menjadi Kepsek. “Kendati saya menjabat tugas sebagai kepala sekolah dalam waktu yang relatif singkat, ada kebanggaan yang luar biasa mendapat kepercayaan itu. Saya menutup masa pengabdian dengan baik dan persis di puncak karir sebagai guru, pendidik dan pejabat struktural. Saya bahagia dapat mengabdi di lembaga ini selama 35 tahun tanpa putus hingga selesai dengan bahagia”, komentarnya berapi-api.
Baca Juga : Kami Optimis Untuk Ke Depan:
Baca Juga : Markus Paus: Fortiter in re et suaviter in modo
Bapa Yan menikahi Ibu Melania Mince, seorang gadis yang berprofesi sebagai guru SD dari Dalo, pada tahun 1985. Pernikahan mereka dikaruniai 4 (empat) orang anak: Albertus Jeharu Segau, SE, Maria Yohanita Segau, S.Kep, Michaeldis Alfonsa Segau, S.Pd dan Archangela Higriani Segau yang kini sedang siap-siap menuju bangku universitas.
Tiga orang anaknya telah menikah. Hari-hari dilewatinya dengan menemani para cucunya. Ia juga melanjutkan kehidupan pascapensiun dengan membangun tempat usaha di depan rumah. “Kios ini menjadi tempat saya melayani warga sekitar untuk berbagai keperluan, sekaligus mengekspresikan minat saya pada bisnis”, ungkapnya bangga. Saya melihat keceriaan seorang pejuang tangguh pada dirinya. Ia menjadi salah satu contoh guru yang selalu beradaptasi dengan situasi. Hal mana membenarkan Heraclitos dari Yunani, semuanya berubah, semuanya berproses, tak ada yang abadi!***
[1] C.C.W.Taylor (ed.), History of Philosophy Volume I: From the Beginning to Plato (London: Routledge, 1997), hal. 80-116. Bdk. A. Mudhofir, Kamus Filsuf Barat (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal.233.
[2] Sebuah rujukan yang baik tentang hal ini baca: Amy Gutmann, Democratic Education
(New Jersey: Princeton University Press, 1999)