Keluar dari jalur menuju Lungar, dekat dengan Wae Mantar, kita searah dengan jalan menuju Iteng. Sepanjang jalan yang berkelok-kelok, sejauh mata memandang kita menemukan kayu-kayu sengon di pinggir jalan. Tak lama kemudian kita bertemu dengan kampung pertama setelah keluar dari kawasan hutan konservasi. Kampung itu adalah Nampong, yang menjadi wilayah administrative desa Umung, kecamatan Satar Mese. Di kampung ini, saban hari selimuti kabut tebal. Mayoritas penduduknya memiliki matapencaharian sebagai petani.
Pada zaman dahulu, desa ini dikenal sebagai salah satu penghasil kopi di kawasan selatan, selain Lungar. Namun lambat laun setelah waktu terus berjalan, budidaya kopi makin menipis. Salah satu sebabnya ialah karena menurunnya produktivitas pohon kopi seiring dengan makin menuanya usia tanaman kopi itu. “Lama kelamaan para petani kopi meninggalkan kebunnya lalu mulai berfokus pada sawah. Sawah memberikan hasil yang kurang lebih pasti”, kisah Bapa Damianus Ngkau.
Baca Juga : Kesaksian yang Membuka Mata
Baca Juga : Masyarakat Lungar: Kopi Menjadi Andalan Hidup
Mereka sendiri tidak cukup tahu dari mana tanaman kopi mula-mula di daerah Nampong. Namun sejak para leluhur di kampung Nampong sudah ada tanaman kopi. Mereka juga mengandalkan hidupnya dari tanaman itu. “Dari sekian banyak petani kopi, kami termasuk yang tidak mau beralih fokus ke mengerjakan sawah. Kami masih percaya bahwa kopi akan menjamin hidup kami”, kisah Bapa Largus Kaput, 62 tahun, anggota kelompok tani kopi.
Para petani di Nampong rata-rata memiliki lahan untuk budidaya kopi seluas 0,50ha-1ha. Lahan itu terpencar di beberapa tempat. Masing-masing tempat ditanami jenis kopi yang berbeda. Dalam lahan sebanyak itu, masing-masing petani rata-rata memiliki 300-600 pohon kopi. Setiap tahun mereka dapat memanen kopi masing-masing petani bisa mendapatkan 200-400kg. “Kopi-kopi yang ditanam pertama di uma rana (kebun yang dibuka untuk pertama kalinya) sudah tua. Karena kurang berbuah maka kami tidak perhatikan lagi, bahkan kopi di lingko itu kami sudah tinggalkan. Banyak sekali kera di sana dan merekalah yang merusak tanaman kopi kami”, jelas Bapa Damianus Ngkau.