In Memoriam Wilhemus Wanggut
Kanisiusdeki.com – Hari ini, Sabtu, 26 Februari 2022, saya mendapat kabar duka. Mus Wanggut telah pergi. Lelaki aktivis LSM ini berkanjang dalam konsistensi sepanjang hidupnya. Kata-kata dan tindakanya selalu bersesuaian. Ia berusaha berjalan dalam rel itu. Sejarah, prinsip, aplikasi yang relevan dan kontekstual selalu menjadi bagian yang mengental dengan dirinya.
Dalam kesehariannya Mus coba memempatkan semua nilai pada kehidupannya. Pertautan kebenaran dalam tindakan. Ia memegang teguh itu sepanjang hidupnya. Pada era Bupati Gaspar Parang Ehok (1989-1999), namanya disanding dengan Pius Hamid.[1] Mereka diidentikkan sebagai panglima yang membela rakyat. Saking kerapnya mereka menyampaikan sikap kritis, Pemkab merasa orang-orang ini perlu bekerja di dalam system. Karena itu, pernah mereka ditawari untuk menjadi ASN. Tawaran itu mereka tolak. Alasannya, mereka bersikap kritis bukan untuk mendapat posisi atau tempat kerja.
Di zaman Bupati Antony Bagul Dagur menjabat (2000-2005), perlawanan bersama rakyat mereka giatkan dalam menentang kebijakan pembabatan kopi rakyat. Hal itu memang masuk akal. Ribuan lahan kopi masyarakat dibabat habis. Bahkan catatan sejarah merekap, pada 10 Maret 2003, 6 orang warga mati tertembak di Polres Manggarai, 3 orang yang terkena tembakan diamputasi dan 70an orang mengalami luka berat dan ringan tatkala mereka menuntut keadilan terhadap rekan-rekan mereka yang ditahan.[2]
Kerasnya perjuangan, hingga mendatangkan Komnas HAM, kala itu membuat silang sengketa masyarakat dan Pemkab menjadi kian rumit. Hal itu mendulang usaha yang lebih kuat lagi bagi pegiat LSM. Sebagian rekan seperjuangan mereka akhirnya “mengalah”. Mereka meninggalkan jalan kejuangan itu dan memilih defenisi- defenisi baru bagi front pertarungannya.
Kemandirian dan pilihan hidup mereka tetap konsisten persis ketika lembaga-lembaga yang mem-back up mereka mulai beralih isu. Alhasil, kekuatan bergerak mereka melamban karena minim sokongan. Pius dan dirinya lalu memilih jalan legislatif sebagai alternatif. Pius berhasil menjadi anggota dewan di Manggarai Timur. Mus belum berhasil. Semacam ada “turning point” lalu mereka seakan kehilangan suara dengan dukungan mayoritas rakyat.
Meskipun begitu, mereka tetap bersekutu dalam idealisme tanpa henti untuk kebaikan masa depan Manggarai. Aneka analisis dan protes konstruktif mereka jalankan sebagai medium pembebasan.
Kiprahnya di dunia akademik patutlah diacungi jempol. Jauh sebelum para akademisi kampus dijadikan rujukan bagi peneliti luar, Mus menjadi salah satu corong isu ke luar negeri dalam bahasan jurnal dan publikasi internasional tentang Manggarai. Seperti rekannya Wempy Anggal, ia berkawan baik dengan beberapa peneliti, antara lain, Maribeth Erb,[3] antropolog kondang tentang Manggarai dari National University of Singapore. Dalam negeri ia berkawan dengan Maria R. Ruwiastuti untuk mendalami penelitian konflik agraria di Manggarai.[4] Kemampuan bahasa asingnya yang bagus menjadi salah satu marka konseptual untuk analisis-analisisnya.
Cintanya terhadap Manggarai sebanding dengan kasihnya untuk kampung halamannya, Tenda. Ia menangis untuk kampung halamannya. Menangis karena perpecahan, perbedaan yang susah didamaikan dan kampung yang sulit bersatu. Hukum logis bisa memastikan, kampungnya terus terdepak dari kemenangan politis di setiap event. Ironi bagi kampung yang menyerahkan setengah tanah ulayatnya bagi Kota Ruteng.
Ia melintasi jalanan kota dengan berjalan kaki. Kehidupannya bukanlah “fuga mundi”[5] melainkan sebuah “budaya tanding”[6] untuk memerotesi kemapanan dan kemewahan yang dihasilkan ketakdilan, pemerasan dan rampasan dalam wajah baru: korupsi. Ia menjadi “suara sekaligus tindakan profetik” bagi dunia yang penuh drama kepalsuan. Ia mengajarkan kesejatian hidup dengan tindakan, bukan saja dengan kata-kata. Kesederhanaan, kesahajaan juga kedinaannya merupakan sebuah persembahan untuk tetap mengingat bahwa kehidupan dunia adalah Mose Dokong (hidup sementara)[7] yang tak boleh dicemari kerakusan dan perampasan. Hidup yang berkeadilan dalam kebenaran dan cinta pada kebaikan.
Saban hari, bersama Star de Deki kami mengunjungi Mus Wanggut di rumahnya. Ini adalah sebentuk usaha menarik daya positifnya, menimba nilai-nilai yang dihayatinya. Ada dialog yang menyejukkan. Ada harapan-harapanya bagi generasi muda, termasuk bagi Star. Itulah energi yang terus memikat kami datang. Air matanya kini tak mengalir lagi. Ia menutup usia dalam umur 68 tahun. Pada Senin, 28 Februari 2022 ia dikebumikan. Ia pergi dengan asa yang entah kapan jadi kenyataan. Selamat jalan peretas jalan, semoga suatu saat harapanm
[1] Baca: https://kanisiusdeki.com/suara-yang-terus-menggema-in-memoriam-pius-hamid/.
[2] Eman J. Embu dan Robert Mirsel (ed.), Gugat! Darah Petani Kopi Manggarai (Maumere: Ledalero, 2004), hal. 71-72.
[3] Maribeth Erb, et.al., Regionalism in Post Soeharto Indonesia (Routledge, 2005); For the people or for the trees? A case study of violence and conservation in Ruteng Nature Recreation Park (January, 2007).
[4] Beberapa karya Maria R. Ruwiastuti, misalnya: Sistem Penguasaan Asli dan Politik Hukum Tanah di Manggarai Tengah, 1994; Penghancuran Hak Masyarakat Adat Atas Tanah: Sistem Penguasaan Tanah Sengketa dan Politik Hukum Agrarian (Jakarta: KPA, 1997); Penghancuran Hak Masyarakat Adat Atas Tanah (KPA, 1997).
[5] Fuga Mundi, sebuah istilah yang digunakan dalam teologi kehidupan religius yang berarti “melepaskan diri dari dunia” dengan pertobatan dan penerimaan sukarela atas sikap kesepian, penolakan dan doa. Sedangkan istilah “Fugue mundi” sering disalahartikan sebagai pelarian dari dunia atau bahkan penghinaan terhadap dunia.
[6] Dalam catatan S.B. Bevans, model ini memiliki tiga langkah: pertama nian, pertobatan yakni penerimaan pengalaman masa lampau (Kitab Suci dan tradisi) sebagai petunjuk tentang makna sejarah (sosiologi adikodrati); kedua, perspektif yakni menggunakan pengalaman masa lalu sebagai lensa untuk melihat; ketiga, interpretasi, kritik, penyingkapan dan tantangan terhadap masa kini berupa kebudayaan, lokasi sosial dan perubahan sosial. Untuk pendalaman baca: Stephen B. Bevans, Models of Contextual Theology (New York: Orbis Books, 2002).
[7] Kenyataan ini sungguh disadari sebagai hal hakiki misalnya lagu dalam Dere Serani: Doing koe o bermakna mengajak manusia bahwa hidup ini harus disadari sebagai perjalanan sementara menuju kehidupan abadi.